Nyai
Widuri
Dahulu, lebih
kurang tiga abad silam, di wilayah Pemalang sebelah utara masih banyak hutan
rawa. Tanah daratan yang ada kurang subur. Di tempat itu tinggallah seorang
yang bernama Ki Pedaringan. Di panggil Ki karena memang ia seorang laki-laki
yang sudah cukup tua. Ki Pedaringan termasuk salah seorang yang cukup ulet
dalam mengolah tanah. Banyak warga lain yang tidak tahan hidup di daerah
tersebut dan lebih memilih bermukim di tempat lain daripada di tempat yang
kurang subur itu.
Karena ketekunan dan keuletan Ki Pedaringan dalam mengolah tanah garapan,
lambat laun tanah yang tadinya kurang subur, berubah menjadi tanah yang cukup
subur. Disamping bertani mengolah tanah garapan, Ki Pedaringan banyak
memelihara hewan piaraan seperti ayam, angsa, bebek, mentok dan juga kambing.
Limbah kotoran ternaknya ia gunakan sebagai kompos yang selanjutnya digunakan
untuk pupuk berbagai tanaman yang ia kelola. Ki Pedaringan pun memperoleh hasil
panenan yang cukup menggembirakan. Kehidupan Ki Pedaringan beranjak membaik.
Kebutuhan pangan Ki Pedaringan boleh dikatakan cukup berlebih.
Ki Pedaringan tergolong orang yang terlambat dalam berkeluarga. Walupun usianya
sudah cukup banyak, namun belum juga mencari istri untuk pendamping hidupnya. Seolah-olah
Ki Pedaringan mempunyai prinsip kalau belum sukses dalam kehidupannya belum mau
berkeluarga. Kini setelah Ki Pedaringan tergolong sukses dan kaya, Ki
Pedaringan memperistri Nyi Widuri. Nyi Widuri adalah seorang gadis cantik yang
menjadi buah bibir di kampung sebelah. Selain cantik, Widuri mempunyai sifat
baik budi, ramah, dan setia. Pantaslah nama Widuri menjadi terkenal khususnya
dikalangan para anak muda pada saat itu.
Boleh dikatakan beruntung orang yang mempersunting Widuri. Dan ternyata Ki
Pedaringan lah orang yang beruntung tersebut. Walaupaun beda usia lima belas
tahun, kehidupan rumah tangga Ki Pedaringan dan Nyi Widuri diliputi kebahagiaan
yang nyaris sempurna. Hal ini karena dalam kehidupan sehari-harinya dilandasi
dengan kesetiaan, saling menjaga, saling menghormati dan saling mencintai satu
sama lain. Dengan didukung lingkungan pesisir pantai yang bersahabat,
keharmonisan rumah tangga Ki Pedaringan dan Nyi Widuri terjaga dengan baik.
Banyak warga lain yang berusaha meniru keharmonisan rumah tangga Ki Pedaringan.
Semenjak Ki Pedaringan berumah tangga dengan Nyi Widuri, kegiatan ke sawah atau
ladang yang rutin dilakukan setiap hari berubah. Kalau dahulu Ki Pedaringan
mengolah sawah atau ladang dilakukan sampai sore dan kadangkala sampai bermalam
menginap di ladang, kini kegiatan itu sedikit berbeda. Ki Pedaringan pergi ke
sawah atau ladang hanya setengah hari. Setelah matahari di tengah-tengah , pas
di atas kepala Ki Pedaringan pulang ke rumah. Hal ini karena di rumah
sudah ada yang menunggu. Istrinya yang cantik dan setia selalu menyambutnya
dengan senyum dan menyenangkan hati. Perasaan capek Ki Pedaringan seketika
hilang begitu melihat Nyi Widuri menyambut dengan dandanan cantik dan sikap
yang menyenangkan. Begitulah kebiasaan sehari-hari yang terjadi di rumah Ki
Pedaringan. Bahagia dan menyenangkan.
Pada suatu saat, ketika Ki Pedaringan sedang pergi ke sawah, Nyi Widuri
dikagetkan oleh sosok pria asing, gagah dan tampan, mampir ke rumahnya. Pria
itu penuh luka di tubuhnya. Walaupun tampak letih dan menahan rasa sakit, namun
keperkasaan dan ketampanan pria tersebut tetap terpancar. Dari sikap dan sopan
santunnya dalam berbicara, menunjukkan kalau pria tersebut bukan pria
kebanyakan.
“Maaf, Nyai. Barangkali kedatangan saya ini mengejutkan. Saya mohon maaf. Saya
mau minta air minum, dan kalau boleh saya minta obat untuk luka-luka di tubuhku
ini,” kata pria itu.
“Loh, Panjenengan siapa, dan dari mana? Mengapa tubuh Panjennengan penuh luka?”
tanya Nyi Widuri dengan penuh perhatian.
“ Maaf, saya ini prajurit Mataram, saya Pangeran Purbaya. Saya baru saja diberi
tugas untuk menumpas gerombolan penjahat di pesisir utara Cirebon. Baru saja
para penjahat itu bisa ditumpas dan sekarang saya mau pulang ke Mataram. Saya
kehabisan air minum. Oleh karena itu saya mampir ke sini minta air minum untuk
perbekalan menuju Mataram.”
Begitu mendengar penjelasan Pangeran Purbaya Nyi Widuri segera mengambil air
minum dan mempersilakan Pangeran Purbaya untuk beristirahat. Luka-luka Pangeran
Purbaya diobati oleh Nyi Widuri.
Setelah beristirahat sejenak dan luka-luka di tubuhnya diobati, pangeran
Purbaya minta diri, pamit untuk melanjutkan ke Mataram. Namun Nyi Widuri tidak
memperbolehkan karena suaminya belum pulang. Maksud Nyi Widuri, mencegah
Pangeran Purbaya untuk tidak pulang sekarang karena demi menjaga fitnah yang
mungkin timbul dalam keluarga, dimana dia telah berani menerima pria lain
selagi suaminya tidak di rumah. Namun karena ditunggu-tunggu suami Nyi Widuri
tidak juga pulang, Pangeran Purbaya akhirnya berpamitan untuk segera pulang ke
Mataram.
Sebagai seorang ksatria, Pangeran Purbaya memahami perasaan Nyi Widuri yang
menghendaki agar bertemu dengan suaminya. Namun demikian, karena tugas
kepraajuritan Pangeran Purbaya harus segera meninggalakan rumah Nyi Widuri.
Oleh karena itu keris Simangklan milik Pangeran Purbaya di tinggal untuk Nyi
Widuri dengan maksud agar menjadi saksi terkait apa-apa yang terjadi di rumah
Nyi Widuri pada saat itu.
Tak berapa lama setelah Pangeran Purbaya meninggalkan rumah Nyi Widuri, Ki
Pedaringan pulang.
“Sepertinya ada tamu Nyi? Siapa yang ke sisni?” tanya Ki Pedaringan.
“Ya, Aki. Ada Pangeran mampir ke rumah kita. Pangeran Purbaya dari Mataram
mampir ke rumah kita Ki!” jawab Nyi Widuri berbunga-bunga.
Kemudian Nyi Widuri menceritakan panjang lebar tentang pengalamannya yang tak
terduga sama sekali bertemu dengan Pangeran Purbaya, tentang jasa yang telah ia
perbuat mengobati luka-luka Pangeran Purbaya dan memberinya air minum.
Maklumlah karena sebagai orang desa yang jauh dari pusat Ibu Kota Mataram Nyi
Widuri merasa kalau peristiwa tersebut merupakan suatu yang istimewa. Oleh karena
itu Nyi Widuri bersemangat sekali dalam menceritakan kejadian yang menurutnya
bagaikan mimpi itu. Dalam hatinya ingin berbagi kebahagiaan yang baru saja ia
alami dengan suami tercinta.
Mendengar cerita Nyi Widuri, raut muka
Ki Pedaringan bukannya ikut bahagia tetapi malah menunjukkan raut muka masam.
Ya, kali ini Ki Pedaringan tidak seperti hari-hari biasanya kalau pulang
disambut oleh istrinya menjadi bahagia. Rupa-rupanya Ki pedaringan diliputi
pikiran negatif. Ia berprasangka buruk, kalau kali ini istrinya tidak setia
lagi. Istrinya telah berselingkuh dengan pria lain yang ia sebut-sebut sebagai
Pangeran Purbaya.
“Jadi apa yang telah kau lakukan Nyi? Apakah kamu menghianati aku? Apakah kamu
selingkuh dengan Pangeran itu Nyai?” tanya Ki Pedaringan dengan nada
curiga.
“Loh, mengapa Aki berkata begitu? Aku adalah istrimu Aki! Aku tidak mungkin
menghianatimu. Sungguh aku hanya menolong seorang ayang kehausan dan tengah
terluka. Apakah itu salah Aki?”
Rupanya Ki Pedaringan yang sedang capek baru saja pulang dari sawahnya tidak
bisa begitu saja menerima penjelasan istrinya. Lebih-lebih cerita istrinya
menurut Ki Pedaringan kurang masuk akal. Mana mungkin ada Pangeran Purbaya
sampai di desa terpencil tempat tinggalnya. Malah sebaliknya Ki Pedaringan
menduga kalau istrinya berselingkuh dengan pria lain. Maklumlah karena beda
usia antara diri dan istrinya cukup jauh sehingga rasa cemburu yang mendalam
sering menimbulkan perasaan curiga.
“Berpanas-panas aku kerja seharian. Capek, lelah, tidak aku rasa; tetapi
istriku di rumah dengan pria lain. Hati siapa yang tidak marah Nyai? Coba
lelaki mana yang kuat diperlakukan seperti ini?”
“Aki, mengapa Aki berpikiran buruk
seperti itu? Apakah Aki tidak percaya kepadaku lagi? Apakah Aki meragukan
kesetiaanku Ki?” suara Nyi Widuri terus mencoba meyakinkan suaminya.
Rasa menyesal dan bersalah menggelayuti pikiran Nyi Widuri. Dalam hatinya
berkecamuk, mengapa niat baik yang ia lakukan bisa berbuah begini. Di tengah
kekacauan pikirannya Nyi Widuri teringat keris yang ditinggalkan oleh Pangeran
Purbaya. Nyi Widuri ingat betul pesan dari Pangeran Purbaya bahwa keris itulah
yang menjadi saksi. Sebab memang pada saat itu tidak ada seorang pun yang tahu
perihal pertemuannya dengan Pangeran Purbaya. Kala itu, di wilayah dimana Ki
Pedaringan dan Nyi Widuri tinggal, rumah-rumah warga masih jauh-jauh. Tidak ada
tetangga yang mengetahui kejadian tersebut.
“Ini Ki, ini saksinya. Pangeran Purbaya meninggalkan keris ini untuk menjadi
saksi. Aki boleh bertanya kepada keris Simangklan ini tentang kesetiaanku.
Teteskan darahku pada kembang itu! Jika kembang putih itu berubah warna menjadi
merah, berarti saya tidak suci lagi. Tetapi kalau kembang putih itu tetap
putih, berarti saya suci, bersih dari apa yang Aki sangkakan kepadaku.”
Kata Nyi Widuri sambil menunjuk pada bunga yang tumbuh di depan rumahnya.
Melihat keris Simangklan yang memancarkan pamor berwibawa, Ki Pedaringan
terperanjat. Hati kecil Ki Pedaringan percaya kalau apa yang diceritakan
istrinya benar. Namun pikiran Ki Pedaringan yang telah diliputi kecurigaan dan
buruk sangka, menyebabkan tangan Ki Pedaringan menyahut keris Simangklan yang
masih berada pada tangan istrinya dan seketika itu pula ‘cres’ melukai
jari istrinya. Tetes-tetes darah keluar dari jemari Nyi Widuri dan saat itu
juga Ki Pedaringan menarik tangan istrinya menuju pohon kembang berbunga putih
yang tumbuh di halaman rumanya. Ki Pedaringan ingin segera membuktikan
kesetiaan istrinya seperti yang dijelaskan Nyi Widuri.
Begitu terkena darah yang keluar dari luka jari Nyi Widuri, bunga yang tadinya
berwarna putih berubah menjadi ungu. Ki Pedaringan bingung. Bunga yang terkena
darah tidak berubah warna merah, yang berarti istrinya tidak selingkuh seperti
yang ia sangka, tetapi warna bunga tadi juga berubah tidak putih lagi tetapi
menjadi ungu. Ditengah kebingungan yang menyelimuti pikiran Ki Pedaringan,
akhirnya Ki Pedaringan segera pamit kepada Nyi Widuri untuk menyusul Pangeran
Purbaya kea rah timur dengan maksud ingin menjumpainya untuk meminta maaf
karena telah berprasangka buruk kepada beliau. Nyi Widuri member izin
kepada suaminya. Luka goresan keris yang mengenai jarinya tidak ia rasakan.
Hatinya telah lega karena masalah yang membelit rumah tangganya telah terjawab.
Senyum manis Nyi Widuri mengiringi keberangkatan suaminya menyusul Pangeran
Purbaya.
Semenjak kepergian suaminya ke Mataram, Nyi Widuri selalu berdoa kepada yang
Maha Kuasa. Memohon suaminya bisa selamat dan segera pulang kembali ke rumah.
Dengan setia, Nyi Widuri menunggu sang suami tercinta.
Ki Pedaringan tidak pulang ke Pemalang, karena sesampai di Mataram ia menjadi
abdi dalem keraton. Nyi Widuri hidup sendiri. Dengan kesetiaannya ia tetap
tinggal di rumah suaminya menunggu sang suami pulang, sampai ajal menjemputnya.
Sampai sekarang tempat dimana Nyi Widuri tinggal dikenal dengan nama Widuri dan
kembang widuri sampai sekarang berwarna ungu. Selain itu orang mengenal nama
Widuri sebagai lambang kesetiaan. Orang-orang mempercayai kalau sepasang
kekasih memadu janji di Pantai Widuri Pemalang akan menjadi pasangan yang
setia sampai tua.
Diceritakan kembali oleh: Mukhlis,
S.IP tinggal di Comal Pemalang
0 komentar:
Posting Komentar