Cerpen

Pelajaran Mengarang
by Seno Gumira Ajidarma
Pelajaran mengarang sudah dimulai.
Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati.
Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul ketiga “Ibu”.
Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.
Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”.  Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.
Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.
Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.
“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara  dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.
***
    
Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkanya tentang sebuah keluarga yang berbahagia.
“Mama, apakah Sandra punya Papa?”
“Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”
Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.
Dua puluh menit berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan “Liburan ke Rumah Nenek” dan yang masuk kedalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan dimuka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.
“Jangan Rewel Anak Setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas, ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”
Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau keluar kota berhari-hari entah ke mana.
Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.
“Anak siapa itu?”
“Marti.”
“Bapaknya?”
“Mana aku tahu!”
Sampai sekarang Sandra tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk diruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menujuk-nunjuk mereka.
“Anak kecil kok dibawa kesini, sih?”
“Ini titipan si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian dirumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”
Sandra masih memandang keluar jendela. Ada langit biru diluar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.
***
Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang “Ibu”. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik keatas kursi.
Apakah wanita itu Ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.
“Mama, mama, kenapa menangis, Mama?”

Drama

PADA SUATU HARI
Karya : ARIFIN C. NOOR
Ijin Penyiaran dan pementasan pada Teater Kecil Jakarta

Para Tokoh:
Nenek
Kakek
Pesuruh
Janda, Nyonya Wenas
Arba, Sopir
Novia
Nita
Meli
Feri


SANDIWARA INI DIMULAI DENGAN MENG-EXPOSE LEBIH DULU:
1. POTRET KAKEK  DAN NENEK KETIKA PACARAN
2. POTRET KAKEK  DAN NENEK KETIKA KAWIN
3. POTRET KAKEK  DAN NENEK DENGAN ANAK-ANAK
4. POTRET KELUARGA BESAR
5. POTRET KAKEK  TUA
6. POTRET NENEK TUA
7. MAIN TITLE ETC-ETC

Kakek  dan Nenek duduk berhadapan.
Beberapa saat mereka saling memandang, Beberapa saat mereka saling tersenyum. Suatu saat mereka sama-sama menuju ke sofa, duduk berdampingan, seperti sepasang pemuda dan pemudi. Setelah mereka ketawa kembali mereka duduk berhadapan. Lalu beberapa saat saling memandang, tersenyum, lalu ke sofa lagi duduk berdampingan, seperti pepasang pengantin, malu-malu dan sebagainya, demikian seterusnya..


TIGA
Kakek             Sekarang kau nyanyi.
Nenek                         (menggeleng sambil tersenyum manja)
Kakek             Seperti dulu.
Nenek             (menggeleng sambil tersenyum manja)
Kakek             Nyanyi seperti dulu.
Nenek                         (Malu)
Kakek             Sejak dulu kau selalu begitu.
Nenek                         Habis kaupun selalu mengejek setiap kali saya menyanyi.
Kakek             Sekarang tidak, sejak sekarang saya tidak akan pernah mengejek kau lagi.
Nenek                         Saya tidak mau menyanyi.
Kakek             Kapanpun?
Nenek                         Kapanpun.
Kakek             Juga untuk saya.
Nenek                         Juga untuk kau.
Kakek             Sama sekali?
Nenek             Sama sekali.
Kakek             Kau kejam. Saya sangat sedih. Saya mati tanpa lebih dulu mendengar kau
menyanyi.
Nenek                         Sayang, kenapa kau berfikir kesana? Itu sangat tidak baik, lagi tidak ada gunanya.
Sayang , berhenti kau berfikir tentang hal itu.
Kakek             Mati saya tidak bahagia karena kau tidak maumenyanyi. Ini memang salah saya.
Tetapi kalau sejak dulu kau cukup mengerti bahwa saya memang sangat memainkan kau, tentu kau bisa memaafkan segala macam ejekan-ejekan saya. Tuhan, saya kira saya akan menghembuskan nafas saya yang terakhir tatkala kau sedang menyanyikan sebuah lagu ditelinga saya.
Nenek             Sayang saya mohon berhentilah kau berfikir mengenai hal itu. Demi segala-galanya berhentilah. Tersenyumlah lagi seperti biasanya.
Kakek             Saya akan tersenyum kalau kau mau mengucapkan janji.
Nenek                         Tentu, tentu.
Kakek             Kau mau menyanyi.
Nenek                         Tentu, sayang, tentu.
Kakek             Kapan?
Nenek                         Suatu ketika.
Kakek             Sebelum saya mati?
Nenek                         Ya, sayang, ya, sayang.
Kakek             Sekarang.
Nenek             Tidak mungkin, sayang, kau tahu saya sedikit flu karena pesta beberapa hari yang lalu?
Kakek             (Tertawa) U, saya baru ingat sekarang.
Nenek                         Selalu kau begitu. Selalu kau tak pernah ambil pusing setiap kali saya sakit.
Kakek             Kau melebih-lebihkan.
Nenek                         Tapi acap kali kau begitu. Kalau saya batuk baru setelah satu minggu kau tahu.
Kakek             Ya, saya akui saya acap kali terlalu asyik dengan diri sendiri. Saya akui. Saya minta dimaafkan supaya sorga saya tidak tertutup, supaya kubur saya…….
Nenek             Sayang, saya tidak mau memberi maaf kalau kau tidak mau juga berhenti menyebut-nyebut soal kematian.
Kakek             Maaf, tidak lagi.
Nenek                         Sekarang saya akan memaafkan kau dengan satu syarat.
Kakek             Apa?
Nenek                         Kau harus menyanyi.
Kakek             (menggelengkan kepalanya)
Nenek                         Kalu begitu, kau tak saya maafkan.
Kakek             Dan sorga saya…?
Nenek                         Mungkin, tertutup.
Kakek             Baik, saya akan menyanyi. Tapi separo. Kalau terlalu lama nanti saya batuk.
Nenek                         Tidak. Satu lagu.
Kakek             Nanti batuk.
Nenek             Setiap kali kau bilang begitu, padahal kau memang pintar menyanyi. Dan kau selalu menghabiskan sebuah lagu dengan sempurna tanpa batuk.
Kakek             Satu lagu?
Nenek             Ayolah, sayang. Penonton sudah tidak sabar lagi menunggu sang penyanyi.
(Kemudian Kakek  menyanyi du tiga baris dari no other love stand – chen Schubert atau lainnya dan selebihnya play back. Begitu lagu berakhir Nenek bertepuk tangan dengan semangat.)
Nenek                         Suara kau tidak pernah berubah.
Kakek             Mana album kesatu? Saya ingin melihat gambar saya ketika saya menyanyi di depan umum dimana kau juga ikut mendengarkan. Kau ingat kapan itu.
Nenek                         Ketika itu kau baru saja lulus propaedus. Kau sombong betul ketika itu.
Kakek             Kau juga. Sepicingpun kau tak pernah membalas pandang saya.
Nenek                         Habis pandangan kau nakal.
Kakek              Habis kau juga suka mencuri pandang.
Nenek                         Kau sudah terlalu pintar berciuman ketika pertama kali kau mencium saya.
Kakek             Saya memang pintar berkhayal. Setiap kali saya menonton saya selalu mengkhayalkan adegan ciuman secara amat terperinci.

EMPAT
Pesuruh          Ada tamu, nyonya besar.
Nenek                         Siapa?
Pesuruh          Nyonya Wenas, nyonya.
Nenek             (Melirik pada Kakek ) Nyonya janda itu (kepada pesuruh) Sebentar saya ke depan.
Pesuruh exit.
Nenek                         Kau surati dia?
Kakek             Tidak.
Nenek                         Kau bohong. Bagaimana dia bisa tahu tentang pesta kita?
Kakek             Saya tidak tahu.
Nenek                         Kau bohong (Exit) Demam saya mulai kambuh.

LIMA
Kakek             Seharusnya dia tidak perlu datang kemari.
\                       Kemudian Kakek  mondar-mandir sambil bersungut-sungut.
Kakek             Saya takut dia betul-betul demam karena kedatangan janda itu. Ah. Lebih baik saya menyingkir ke ruang baca. (Exit)

ENAM
Nenek             Kami sangat berharap sekali nyonya hadir kemarin. Suami saya juga heran kenapa nyonya tidak datang kemudian.
Janda              Kami sakit.
Nenek                         Kami? Maksud nyonya….
Janda              Ya, saya dan anjing saya sakit. Setiap kali saya sakit anjing saya juga ikut sakit. Saya agak senang karena sekarang saya agak sembuh, tetapi Bison agak parah sakitnya.
Nenek             Kasihan. Sayang. (Heran suaminya tidak ada). Dimana kau? Dia tadi disini. Sebentar, nyonya (beseru) Onda, dimana kau? (Exit)


Drama

UNSUR-UNSUR PEMENTASAN DRAMA
. ·
DRAMA
Berdasarkan etimologi, kata drama berasal dari bahasa Yunani dram yang berarti gerak. Drama sering disebut sandiwara atau teater. Kata sandiwara  berasal dari bahasa Jawa sandi yang berarti rahasia dan dan warah yang berarti ajaran. Sandiwara berarti ajaran yang disampaikan secara rahasia atau tidak terang-terangan.
Dalam arti sempit, drama adalah kisah hidup manusia dalam masyarakat yang dipyoyeksikan ke atas panggung, disajikan dalam bentuk dialog dan gerakan berdasarkan naskah, didukung tata panggung, tata lampu, tata musik, tata rias, dan tata busana. Dalam arti luas, drama adalah semua bentuk tontonan yang mengandung cerita yang dipertunjukan di depan orang banyak. Dengan kata lain, drama dalam arti luas mencakup teater tradisional dab teater modern, sedangkan dalam arti sempit mengacu pada drama modern saja.
Pertunjukan drama atau pementasan drama merupakan kesenian yang sangat kompleks. Sebab seni drama bukan saja melibatkan banyak seniman, melainkan juga mengandung banyak unsur. Unsur-unsur dalam drama adalah naskah, pemain, sutradara, tata rias, tata busana, tata lampu, tata panggung, tata suara, dan penonton. Jika salah satu dari unsur tesebut tidak ada maka pertunjukan drama tersebut tidak akan pernah tejadi.
A.    Pementasan Drama

Pementasan drama merupakan kesenian yang sangat kompleks. Sebab, seni drama bukan hanya saja melibatkan banyak seniman, melaikan juga mengandung banyak unsur. Unsur-unsur itu saling mendukung dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keutuhan pementasan drama. Karena itu, semua unsur pementasan drama harus ada dan harus digarap dengan baik. Jika salah satu unsur tidak ada bisa, mengakibatkan pementasan drama tidak akan pernah terwujud.
Apa unsur-unsur pementasan drama itu? Sedikitnya ada sembilan unsur drama, yaitu naskah, pemain, sutradara, tata rias, tata busana, tata panggung, tata lampu, dan penonton.
 B.     Naskah Drama
Naskah drama adalah karangan yang berisi cerita atau lakon. Dalam naskah tersebut termuat nama-nama tokoh dalam cerita, dialog yang diucapkan para tokoh, dan keadaan panggung yang diperlukan.
Bentuk naskah drama dan susunannya berbeda dengan naskah cerita pendek atau novel. Naskah cerita pendek atau novel berisi cerita lengkap dan langsung tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi. Sebaliknya naskah drama tidak mengisahkan cerita langsung. Penuturan ceritanya diganti dengan dialog para tokoh. Jadi naskah drama itu mengutamakan ucapan-ucapan atau pembicaran para tokoh.
Permainan drama dibagi dalam babak demi babak. Setiap babak mengisahkan perstiwa tertentu. Peristiwa itu terjadi di tempat tertentu, dalam waktu tertentu, dan suasana tertentu pula. Dengan pembagian seperti itu, penonton memperoleh gambaran yang jelas bahwa setiap peristiwa berlangsung di tempat, waktu, dan suasana yang berbeda.
Untuk memudahkan para pemain drama, naskah drama ditulis selengkap-lengkapnya, bukan saja berisi percakapan, melaikan juga disertai keterangan atau petunjuk. Petunjuk itu, misalnya gerakan-gerakan yang dilakukan pemain, tempat terjadinya peristiwa, benda-benda peralatan yang diperlukan setiap babak, dan keadaan panggung setiap babak.
C.    Pemain
Pemain adalah orang yang memeragakan cerita. Berapa banyak pemain yang dibutuhkan dalam drama, tergantung dari banyaknya tokoh yang terdapat dalam naskah drama yang akan dipentaskan. Sebab, setiap tokoh akan diperankan oleh seorang pemain.
Agar berhasil memerankan tokoh-tokoh tadi, maka pemain harus dipilih secara tepat. Jika dalam drama itu pemainnya campuran, untuk menentukan pemain tentu lebih mudahdaripada tidak campuran. Yang dimaksud pemain campuran adalah para pemain terdiri dari anak-anak, remaja, dan orang tua. Juga pemain laki-laki dan perempuan.
Dalam upaya memilih pemain drama yang tepat, cara berikut ini dapat diterapkan.
  1. Naskah yang sudah dipilih harus dibaca berulang-ulang agar semuanya dapat memahaminya. Dari dialog para tokoh dapat diketahui watak tiap-tiap tokoh dalam naskah drama itu.
  2. Setelah diketahui watak tiap tokoh, kemudian memilih pemain yang cocok dan mampu memerankan masing-masing tokoh.
  3. Selain mempertimbangkan watak, perlu juga untuk mempertimbangkan perbandingan usia dan perkiraan perawakan (postur).
  4. Kemampuan pemain menjadi pertimbangan penting pula. Sebaiknya dalam memilih pemain haruslah yang mempunyai kepintaran. Artinya, dalam waktu yang tidak terlalu lama bdalam berlatih, dia sudah bisa memerankan tokoh seperti yang dikehendaki naskah.
D.    Sutradara
Sutradara adalah pempinan dalam pementasan drama. Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab terhadap kesuksesan pementasan drama, ia harus membuat perencanaan dan melaksanakannya. Tugas seorang sutradara sangat banyak dan beban tanggung jawabnya cukup berat. Sutradara harus memilh naskah, menetukan pokok-pokok penafsiran naskah, memilih pemain, melatih pemain, bekerja dengan staf, dan mengkoordinasikan setiap bagian. Semua itu harus dilakukan dengan cermat. Bila pementasan drama berjalan lancar, menarik, dan memuaskan penonton, sutradara menjadi orang pertama yang berhak mendapat pujian. Dan begitupun sebaliknya, jika pementasan crama tidak berjalan lancar yang menyebabkan penonton kecewa, sutradara pasti yang menjadi sasaran kemarahan.
Bagi seorang sutradara, yang mula-mula dilakuakan adalah memilih naskah. Naskah yang telah dipilih kemudian dibaca berulang-ulang, untuk memntukan bagaimana watak tokoh-tokonya, tata rias, pengaturan panggung dan seterusnya. Akan tetapi, sutradara tetap harus memberikan pengarahan karena semua itu merupakan tanggung jawab sutradara. Meskipun demikian, sutradara harus mau mendengarkan usul berbagai pihak dan memperrtimbangkannya.
Selanjutnya, sutradara memilih para pemain. Para pemain terpilih kemudian diberi penjelasan tentang lakon drama yang akan dipentaskan, watak tokoh dan hal-hal yang berkaitan dengan drama yang akan dipentaskan. Tugas sutradara yang selanjutnya adalah melatih, membimbing, dan mengarahkan para pemain agar dapat memerankan tokoh dalam cerita. Sutradara harus mampu menafsirkan watak dan lagak tokoh cerita secara tepat kemudian memindahkan watak dan lagak itu kepada para pemain.
Seorang sutradara tidak boleh segan atau ragu menegur, mencela, atau menyalahkan pemain yang memang salah mengucapkan dialog atau berakting. Jika perlu, dengan tegas menindak pemain yang tidak disiplin. Tugas sutradara sangatlah banyak dan beban tanggung jawabnya sangat berat. Karena itu, sutradara sebaiknya mampu :
  1. Memilih naskah yang baik
  2. Pandai menafsirkan watak para tokoh cerita
  3. Pandai memilih pemain yang tepat
  4. Sanggup melatih para pemain
  5. Bisa bekerja sama dengan para petugas
  6. Cekatan dalam mengkoordinasikan semua bagian
E.     Tata Rias
Tata rias adalah cara mendandani atau memakepi para pemain. Orang yang mengerjakan tata rias disebut penata rias. Penata rias boleh seorang pria, boleh juga seorang wanita. Karena yang dilihat adalah keahliannya dalam bidang tata rias. Alat-alat rias itu, berupa bedak, pemerah bibir, bubuk hitam dari arang, pensil alis, gelung palsu, kumis palsu, dan lem.
Seorang penata rias haruslah memiliki rasa seni yang tinggi. Selain harus memiliki rasa seni, penata rias harus terampil dan cekatan.  Penata rias harus mampu mengatur waktu sehingga setiap pemain yang akan naik panggung sudah dirias dengan baik.
F.     Tata Busana
Tata busana adalah pengaturan pakaian pemain baik bahan, model, maupun cara mengenakannya. Tata rias sebenarnya memilki hubungan yang erat dengan tata rias. Karena itu, tugas mengatu pakaian pemain sering dirangkap penata rias. Artinya, penata rias sekaligus juga menjadi penata busana. Dengan kata lain, tata rias dan tata busana merupakan dua hal yang saling berhubungan dan saling mendukung.
Akan tetapi, sering pula terjadi tugas penat rias dipisahkan dengan tugas mengatur pakaian. Artinya, penata rias hanya khusus merias wajah, sedangkan penata busana yang mengatur pakaian/busana para pemain dengan pertimbangan untuk mempermudah dan mempercepat kerja. Meskipun demikian, penata rias dan penata busana harus bekrja sama saling memahami, saling menyesuaikan, dan saling membantu agar hasil akhirnya memuaskan. Penata rias dan penata busana hars mampu menafsirkan dan memantas-mantaskan rias dan pakaian  yang akan di pentaskan oleh pemain.
G.    Tata Panggung
Panggung adalah tempat para aktor memeragakan lakon drama. Sebagai area pertunjukan, biasanya panggung dibuat edikit lebih tinggi daripada lantai. Sering pula lebih tinggi daripada tempat duduk penonton agar penonton yang pling jauh masih dapat melihat dan menyaksikan pertunjkan drama tersebut dengan jelas.
Tata panggung adalah keadaan panggung yang dibutuhkan untuk permainan drama. Petugas yang menata panggung disebut penata panggung. Penata panggung biasanya terdiri dari beberapa orang (tim) supaya dapat mengubah keadaan panggung dengan cepat.
Panggung menggambarkan tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu  peristiwa. Peristiwa yang terjadi dalam suatu abak berbeda dalam tempat, waktu, dan suasana yang berbeda dengan peristiwa dalam babak yang lain. Untuk itu, penataan panggung harus diubah-ubah.
Penataan panggung tugasnya hanya menururi apa yang diminta naskah. Meskipun demikian, secara kreatif ia boleh menambahkan, mengurangi, atau mengubah letak perabotan asal perubahan itu menambah baiknya keadaan panggung. Berkaitan dengan itu, penata panggung sebaikinya dipilih orang-orang yang mengerti keindahan dan tahu komposisi yang baik, meletakkan barang-barang di panggung tidak sembarangan. Sebab, mengatur panggung ada seninya. Komposisi yang tepat akan menimbulkan keindahan dan keindahan menimbulkan rasa senang.
H.    Tata Lampu
Tata lampu adalah pengaturan cahaya di panggung. Karena itu, tata lampu erat hubungannya dengan tata panggung. Pengaturan cahaya di panggung memang harus disesuaikan dengan keadaan panggung yang digambarkan. Di rumah orang miskin, di rumah orang kaya, semuanya memerlukan penyesuaian. Demikian pula dengan waktu terjadinya, apakah pagi, siang, atau malam.
Yang mengatur seluk-beluk pencahayaan di panggung adalah penata lampu. Penata lampu biasanya menggunkn alat yang disebut spot light, yaitu semacam kotak besar berlensa yang berisi lampu ratusan watt. Karena tata lampu selalu berhubungan dengan listrik, sebaiknya penata lampu adalah orang yang mengerti teknik kelistrikan. Sebab, adakalanya lampu tiba-tiba harus dimatikan sejenak lalu dihidupkan kembali. Ada kemungkinan tiba-tiba ada gangguan listrik. Untuk menghadapi hal seperti itu penata lampu yang tidak  memahami teknik kelistrikan tentu akan bingung, yang akibatnya pencahayaan di panggung menjadi kacau dn pertunjukan drama menjdi gagal.
I.       Tata Suara
Tata suara bukan hanya pengatura pengeras suara ( sound system ), melainkan juga musik pengiring. Musik pengiring diperlukan agar suasana yang digambarkan terasa lebih menyakinkan bagi para penonton.
Alat musik yang digunakan pada saat suasana sedih mungkin hanya seruling yang ditiup mendayu-dayu menyayat hati. Demikia pula jka adegan pertengkaran, dan suasananya pana akan lebih terasa bila iringi dengan musik yang berirama cepat dan keras.
Iringan musik tidak dijelaskan dalam naskah. Penjelasaannya hanya secara umum saja, misalkan diringi musik pelan, sendu, atau sedih. Urusan  pengiringa musik ini diserahkan sepenuhnya kepada penata suara atau penata musik.  Musik pengiring dimainkan dibalik layar agar tidak terlihat penonton dan tidak mengganggu para pemain drama. Kekerasan suara juga harus diatur untuk mencitakan permainn drama yang indah.
J.      Penonton
Penonton termasuk unsur penting dalam pementasan drama. Bagaimana sempurnanya persiapan, kalau idak ada penonton rasanya drama tidak akan dimainkan. Jadi, segala unsur drama yang telah disebutkan sebelumnya pada akhirnya semuanya untuk penonton. Kesuksesan sebuah drama biasanya dapat diukur dari banyak-sedikitnya penonton.
Penonton drama terdiri dari berbagai macam latar belakang, baik pendidikan, ekonomi, kemampuan mengapresiasi, maupun motivasi. Dilihat dari segi motivasinya, sedikitnya ada tiga ragam penonto, yaitu penonton peminat, penonton iseng, dan penonton penasaran.
  • Penonton Peminat
Penonton peminat adalah penonton intelektual yang mampu mengapresiasikan seni, terutama seni drama.
  • Penonton Iseng
Penonton isenng sebenarnya penonton yang tidak punya perhatian khusus pada drama, tetapi mungkin menyukai seni lain, terutama seni musik.
  • Penonton Penasaran
Penonton ini berhasrat menonton karena penasaran, yaitu ingin tahu aa sebenarnya tontonan drama itu. Mungkin mereka penasaran pada lakonnya atau mungkin pada pemainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penasaran ini menyangkut dua hal, yaitu penasaran terhadap seni dan penasaran terhadap tokoh.
Sumber:
Wiyanto Asul. 2004. Terampil Bermain Drama. Grasindo : Jakarta


Asal Usul Pemalang

Nyai Widuri
Dahulu, lebih kurang tiga abad silam, di wilayah Pemalang sebelah utara masih banyak hutan rawa. Tanah daratan yang ada kurang subur. Di tempat itu tinggallah seorang yang bernama Ki Pedaringan. Di panggil Ki karena memang ia seorang laki-laki yang sudah cukup tua. Ki Pedaringan termasuk salah seorang yang cukup ulet dalam mengolah tanah.  Banyak warga lain yang tidak tahan hidup di daerah tersebut dan lebih memilih bermukim di tempat lain daripada di tempat yang kurang subur itu.
            Karena ketekunan dan keuletan Ki Pedaringan dalam mengolah tanah garapan, lambat laun tanah yang tadinya kurang subur, berubah menjadi tanah yang cukup subur. Disamping bertani mengolah tanah garapan, Ki Pedaringan banyak memelihara hewan piaraan seperti ayam, angsa, bebek, mentok dan juga kambing. Limbah kotoran ternaknya ia gunakan sebagai kompos yang selanjutnya digunakan untuk pupuk berbagai tanaman yang ia kelola. Ki Pedaringan pun memperoleh hasil panenan yang cukup menggembirakan. Kehidupan Ki Pedaringan beranjak membaik. Kebutuhan pangan Ki Pedaringan boleh dikatakan cukup berlebih.
            Ki Pedaringan tergolong orang yang terlambat dalam berkeluarga. Walupun usianya sudah cukup banyak, namun belum juga mencari istri untuk pendamping hidupnya. Seolah-olah Ki Pedaringan mempunyai prinsip kalau belum sukses dalam kehidupannya belum mau berkeluarga. Kini setelah Ki Pedaringan tergolong sukses dan kaya, Ki Pedaringan memperistri Nyi Widuri. Nyi Widuri adalah seorang gadis cantik yang menjadi buah bibir di kampung sebelah. Selain cantik, Widuri mempunyai sifat baik budi, ramah, dan setia. Pantaslah nama Widuri menjadi terkenal khususnya dikalangan para anak muda pada saat itu.
            Boleh dikatakan beruntung orang yang mempersunting Widuri. Dan ternyata Ki Pedaringan lah orang yang beruntung tersebut. Walaupaun beda usia lima belas tahun, kehidupan rumah tangga Ki Pedaringan dan Nyi Widuri diliputi kebahagiaan yang nyaris sempurna. Hal ini karena dalam kehidupan sehari-harinya dilandasi dengan kesetiaan, saling menjaga, saling menghormati dan saling mencintai satu sama lain. Dengan didukung lingkungan pesisir pantai yang bersahabat, keharmonisan rumah tangga Ki Pedaringan dan Nyi Widuri terjaga dengan baik. Banyak warga lain yang berusaha meniru keharmonisan rumah tangga Ki Pedaringan.
            Semenjak Ki Pedaringan berumah tangga dengan Nyi Widuri, kegiatan ke sawah atau ladang yang rutin dilakukan setiap hari berubah. Kalau dahulu Ki Pedaringan mengolah sawah atau ladang dilakukan sampai sore dan kadangkala sampai bermalam menginap di ladang, kini kegiatan itu sedikit berbeda. Ki Pedaringan pergi ke sawah atau ladang hanya setengah hari. Setelah matahari di tengah-tengah , pas di atas kepala Ki Pedaringan pulang  ke rumah. Hal ini karena di rumah sudah ada yang menunggu. Istrinya yang cantik dan setia selalu menyambutnya dengan senyum dan menyenangkan hati. Perasaan capek Ki Pedaringan seketika hilang begitu melihat Nyi Widuri menyambut dengan dandanan cantik dan sikap yang menyenangkan. Begitulah kebiasaan sehari-hari yang terjadi di rumah Ki Pedaringan. Bahagia dan menyenangkan.
            Pada suatu saat, ketika Ki Pedaringan sedang pergi ke sawah, Nyi Widuri dikagetkan oleh sosok pria asing, gagah dan tampan, mampir ke rumahnya. Pria itu penuh luka di tubuhnya. Walaupun tampak letih dan menahan rasa sakit, namun keperkasaan dan ketampanan pria tersebut tetap terpancar. Dari sikap dan sopan santunnya dalam berbicara, menunjukkan kalau pria tersebut bukan pria kebanyakan.
            “Maaf, Nyai. Barangkali kedatangan saya ini mengejutkan. Saya mohon maaf. Saya mau minta air minum, dan kalau boleh saya minta obat untuk luka-luka di tubuhku ini,” kata pria itu.
            “Loh, Panjenengan siapa, dan dari mana? Mengapa tubuh Panjennengan penuh luka?” tanya Nyi Widuri dengan penuh perhatian.
            “ Maaf, saya ini prajurit Mataram, saya Pangeran Purbaya. Saya baru saja diberi tugas untuk menumpas gerombolan penjahat di pesisir utara Cirebon. Baru saja para penjahat itu bisa ditumpas dan sekarang saya mau pulang ke Mataram. Saya kehabisan air minum. Oleh karena itu saya mampir ke sini minta air minum untuk perbekalan menuju Mataram.”
            Begitu mendengar penjelasan Pangeran Purbaya Nyi Widuri segera mengambil air minum dan mempersilakan Pangeran Purbaya untuk beristirahat. Luka-luka Pangeran Purbaya diobati oleh Nyi Widuri.
            Setelah beristirahat sejenak dan luka-luka di tubuhnya diobati, pangeran Purbaya minta diri, pamit untuk melanjutkan ke Mataram. Namun Nyi Widuri tidak memperbolehkan karena suaminya belum pulang. Maksud Nyi Widuri, mencegah Pangeran Purbaya untuk tidak pulang sekarang karena demi menjaga fitnah yang mungkin timbul dalam keluarga, dimana dia telah berani menerima pria lain selagi suaminya tidak di rumah. Namun karena ditunggu-tunggu suami Nyi Widuri tidak juga pulang, Pangeran Purbaya akhirnya berpamitan untuk segera pulang ke Mataram.
            Sebagai seorang ksatria, Pangeran Purbaya memahami perasaan Nyi Widuri yang menghendaki agar bertemu dengan suaminya. Namun demikian, karena tugas kepraajuritan Pangeran Purbaya harus segera meninggalakan rumah Nyi Widuri. Oleh karena itu keris Simangklan milik Pangeran Purbaya di tinggal untuk Nyi Widuri dengan maksud agar menjadi saksi terkait apa-apa yang terjadi di rumah Nyi Widuri pada saat itu.
            Tak berapa lama setelah Pangeran Purbaya meninggalkan rumah Nyi Widuri, Ki Pedaringan pulang.
            “Sepertinya ada tamu Nyi? Siapa yang ke sisni?” tanya Ki Pedaringan.
            “Ya, Aki. Ada Pangeran mampir ke rumah kita. Pangeran Purbaya dari Mataram mampir ke rumah kita Ki!” jawab Nyi Widuri berbunga-bunga.
            Kemudian Nyi Widuri menceritakan panjang lebar tentang pengalamannya yang tak terduga sama sekali bertemu dengan Pangeran Purbaya, tentang jasa yang telah ia perbuat mengobati luka-luka Pangeran Purbaya dan memberinya air minum. Maklumlah karena sebagai orang desa yang jauh dari pusat Ibu Kota Mataram Nyi Widuri merasa kalau peristiwa tersebut merupakan suatu yang istimewa. Oleh karena itu Nyi Widuri bersemangat sekali dalam menceritakan kejadian yang menurutnya bagaikan mimpi itu. Dalam hatinya ingin berbagi kebahagiaan yang baru saja ia alami dengan suami tercinta.       
Mendengar cerita Nyi Widuri, raut muka Ki Pedaringan bukannya ikut bahagia tetapi malah menunjukkan raut muka masam. Ya, kali ini Ki Pedaringan tidak seperti hari-hari biasanya kalau pulang disambut oleh istrinya menjadi bahagia. Rupa-rupanya Ki pedaringan diliputi pikiran negatif. Ia berprasangka buruk, kalau kali ini istrinya tidak setia lagi. Istrinya telah berselingkuh dengan pria lain yang ia sebut-sebut sebagai Pangeran Purbaya.
            “Jadi apa yang telah kau lakukan Nyi? Apakah kamu menghianati aku? Apakah kamu selingkuh dengan Pangeran itu Nyai?” tanya Ki Pedaringan dengan nada curiga. 
            “Loh, mengapa Aki berkata begitu? Aku adalah istrimu Aki! Aku tidak mungkin menghianatimu. Sungguh aku hanya menolong seorang ayang kehausan dan tengah terluka. Apakah itu salah Aki?”
            Rupanya Ki Pedaringan yang sedang capek baru saja pulang dari sawahnya tidak bisa begitu saja menerima penjelasan istrinya. Lebih-lebih cerita istrinya menurut Ki Pedaringan kurang masuk akal. Mana mungkin ada Pangeran Purbaya sampai di desa terpencil tempat tinggalnya. Malah sebaliknya Ki Pedaringan menduga kalau istrinya berselingkuh dengan pria lain. Maklumlah karena beda usia antara diri dan istrinya cukup jauh sehingga rasa cemburu yang mendalam sering menimbulkan perasaan curiga.
            “Berpanas-panas aku kerja seharian. Capek, lelah, tidak aku rasa; tetapi istriku di rumah dengan pria lain. Hati siapa yang tidak marah Nyai? Coba lelaki mana yang kuat diperlakukan seperti ini?”
“Aki, mengapa Aki berpikiran buruk seperti itu? Apakah Aki tidak percaya kepadaku lagi? Apakah Aki meragukan kesetiaanku Ki?” suara Nyi Widuri terus mencoba meyakinkan suaminya.
            Rasa menyesal dan bersalah menggelayuti pikiran Nyi Widuri. Dalam hatinya berkecamuk, mengapa niat baik yang ia lakukan bisa berbuah begini. Di tengah kekacauan pikirannya Nyi Widuri teringat keris yang ditinggalkan oleh Pangeran Purbaya. Nyi Widuri ingat betul pesan dari Pangeran Purbaya bahwa keris itulah yang menjadi saksi. Sebab memang pada saat itu tidak ada seorang pun yang tahu perihal pertemuannya dengan Pangeran Purbaya. Kala itu, di wilayah dimana Ki Pedaringan dan Nyi Widuri tinggal, rumah-rumah warga masih jauh-jauh. Tidak ada tetangga yang mengetahui kejadian tersebut.
            “Ini Ki, ini saksinya. Pangeran Purbaya meninggalkan keris ini untuk menjadi saksi. Aki boleh bertanya kepada keris Simangklan ini tentang kesetiaanku. Teteskan darahku pada kembang itu! Jika kembang putih itu berubah warna menjadi merah, berarti saya tidak suci lagi. Tetapi kalau kembang putih itu tetap putih, berarti saya  suci, bersih dari apa yang Aki sangkakan kepadaku.” Kata Nyi Widuri sambil menunjuk pada bunga yang tumbuh di depan rumahnya.
            Melihat keris Simangklan yang memancarkan pamor berwibawa, Ki Pedaringan terperanjat. Hati kecil Ki Pedaringan percaya kalau apa yang diceritakan istrinya benar. Namun pikiran Ki Pedaringan yang telah diliputi kecurigaan dan buruk sangka, menyebabkan tangan Ki Pedaringan menyahut keris Simangklan yang masih berada pada tangan istrinya dan seketika itu pula ‘cres’ melukai jari istrinya. Tetes-tetes darah keluar dari jemari Nyi Widuri dan saat itu juga Ki Pedaringan menarik tangan istrinya menuju pohon kembang berbunga putih yang tumbuh di halaman rumanya. Ki Pedaringan ingin segera membuktikan kesetiaan istrinya seperti yang dijelaskan Nyi Widuri.
            Begitu terkena darah yang keluar dari luka jari Nyi Widuri, bunga yang tadinya berwarna putih berubah menjadi ungu. Ki Pedaringan bingung. Bunga yang terkena darah tidak berubah warna merah, yang berarti istrinya tidak selingkuh seperti yang ia sangka, tetapi warna bunga tadi juga berubah tidak putih lagi tetapi menjadi ungu. Ditengah kebingungan yang menyelimuti pikiran Ki Pedaringan, akhirnya Ki Pedaringan segera pamit kepada Nyi Widuri untuk menyusul Pangeran Purbaya kea rah timur dengan maksud ingin menjumpainya untuk meminta maaf karena telah berprasangka buruk kepada beliau.  Nyi Widuri member izin kepada suaminya. Luka goresan keris yang mengenai jarinya tidak ia rasakan. Hatinya telah lega karena masalah yang membelit rumah tangganya telah terjawab. Senyum manis Nyi Widuri mengiringi keberangkatan suaminya menyusul Pangeran Purbaya.
            Semenjak kepergian suaminya ke Mataram, Nyi Widuri selalu berdoa kepada yang Maha Kuasa. Memohon suaminya bisa selamat dan segera pulang kembali ke rumah. Dengan setia, Nyi Widuri menunggu sang suami tercinta.
            Ki Pedaringan tidak pulang ke Pemalang, karena sesampai di Mataram ia menjadi abdi dalem keraton. Nyi Widuri hidup sendiri. Dengan kesetiaannya ia tetap tinggal di rumah suaminya menunggu sang suami pulang, sampai ajal menjemputnya. Sampai sekarang tempat dimana Nyi Widuri tinggal dikenal dengan nama Widuri dan kembang widuri sampai sekarang berwarna ungu. Selain itu orang mengenal nama Widuri sebagai lambang kesetiaan. Orang-orang mempercayai kalau sepasang kekasih memadu janji di Pantai Widuri Pemalang akan menjadi pasangan yang  setia sampai tua.
Diceritakan kembali oleh:  Mukhlis, S.IP  tinggal di Comal Pemalang